Perkembangan macapat dan masa keemasannya
Sejarah perkembangan sastra jawa memang sangat panjang. Prof. Dr. R. M. Ng. Poerbatjaraka telah berhasil membuat ikhtisar isi yang menyuguhkan pembabakan berdasarkan zaman dimana pusaka-pusaka itu ditulis oleh penciptanya. 1). Sastra Jawa Kuno Karya sastranya adalah kakawin Ramayana, kakawin Bharata Yudha. 2). Sastra Jawa Pertengahan Menurut pendapat para ahli sastra dan sastra jawa, batas waktu yang diperuntukan bagi sastra jawa kuno dimulai jawa purba hingga sekitar tahun 1400. Untuk sastra jawa pertengahan, dari tahun 1400-1700, adapun sesudah tahun itu hingga sekarang disebut sastra jawa baru. Karya sastranya yaitu, Tantu pangelaran dan Kidung Sundayana. 3). Sastra Jawa Zaman Islam Didalam lembaran sastra jawa zaman Islam, terdapat tiga buah pusaka yang judulnya masing-masing menggunakan kata Niti, yang artinya tuntutan. Yaitu Nitisewaka, Nitisruti dan Nitipraja. Ketiga buah pusaka itu nadanya sama, ialah berisi tuntutan. Nitisewaka dibuat pada zaman pemerintahan Sinuwun Mangkurat II di Kartasura, sedangkan Nitipraja dibuat dizaman pemerintahan Sultan Agung di Mataram. Adapun Nitisruti ditulis oleh Pangeran Karang Gayam, yaitu seorang pujangga kerajaan Pajang yang bertempat tinggal di Karang Gayam. Nama sebenarnya adalah Pangeran Tumenggung Sujonopuro, yang menurut silsilah masih gantung siwurnya R. Ng. Ranggawarsita . Seiring dengan tersiarnya ajaran Islam, secara tidak langsung, pengaruh kebudayaan Islam telah membuat bentuk puisi jawa mengalami pergeseran. Dari kakawin yang bermetrum India menjadi kidung yang bermetrum Jawa. Kedudukan kakawin yang sebelumnya sebagai puisi resmi digantikan oleh kidung. Ketika itu kidung dimanfaatkan oleh para intelektual Islam untuk menyebarkan ajaran Islam di pesisir utara ( Giri, Surabaya, Demak ), diperkirakan bahwa pertama-tama kidung tumbuh dan berkembang dikawasan itu. Namun, lama-kelamaan kehidupan kidung bergeser pula dari Jawa ke Bali, dan kedudukannya digantikan oleh macapat dengan gaya pesisiran timbul istilah macapat pesisiran. Setelah pusat penyebaran agama Islam berpindah dari pesisir ke pedalaman, yakni Mataram, kebudayaan jawa mengalami pembangunan. Pada zaman Sultan Agung terjadi restrukturisasi kebudayaan jawa. Pada satu pihak kebudayaan jawa yang bersumber kebudayaan dikristalisasikan dan dimantapkan, misalnya macapat dilestarikan dan dibakukan strukturnya. Pada lain pihak kebudayaan jawa dimodernkan, misalnya, dengan diciptakan kalender jawa yang merupakan hasil rekayasa perpaduan tahun Saka dan tahun Hijriyah. 4). Sastra jawa zaman Surakarta awal Zaman kerajaan Surakarta awal, sastra jawa mengalami zaman keagungannya. Banyak sekali hasil sastra yang diciptakan dan isinya pun beranekaragam. Hal ini berkat pengayoman para raja yang sedang memegang tampuh pemerintahan dan pada saat itu bahasa jawa dipergunakan sebagai bahasa dinas pemerintahan. Terlebih lagi, para raja dan para ksatria punggawanya ikut serta menggubah pustaka. Ini merupakan stimulan bagi para peminat dan pencintanya untuk mencontoh berbuat hal yang sama. Sri Susuhunan Pakubuwana III, Sri Susuhunan Pakubuwana IV, Sri Susuhunan Pakubuwana V, KGPAA. Mangkunegara IV, R. Ng. Sindu Sastra, KPA. Kusumadilaga dan lainnya, adalah tokoh-tokoh pemerintahan terkemuka dan ikut serta mendukung mengembangkan kesusateraan jawa disamping para pujangga yang diwisuda. Sementara yang sungguh-sungguh membawa sastra jawa memasuki abad keemasan pada zaman tersebut adalah R. Ng. Yasadipura I, pujangga pertama keraton Kasunanan Surakarta Adiningrat. R. Ng. Yasadipura II atau R. T. Sastranegara adalah pujangga Kasunanan yang kedua. a. Alur keemasan sastra jawa Karya sastra jawa mengalami kebangkitan pada abad XVII dan XIX. Karya-karya itu ditulis dan digubah oleh para pujangga keraton, terutama Yogyakarta ( bekas Mataram ) dan Surakarta. Oleh karena itu pada zaman itu karya sastra mengalami perkembangan yang pesat, wajarlah jika Piegeud menyebut zaman itu sebagai zaman keemasan sastra jawa. Menurut perjalanan sejarah kesusasteraan jawa mengalami perkembangan akibat semakin menurunnya peran keraton dalam bidang politik dan ekonomi. Hal ini disebabkan oleh hadirnya kompeni Belanda yang semakin lama semakin menggeser kekuasaan politik keraton. Oleh karena kekuasaan keraton semakin terdesak dan campur tangan kompeni semakin mencengkram, seolah-olah keraton jawa kehilangan peran dan bahkan mencapai puncak krisis. Sehingga keraton lebih banyak berperan sebagai pusat kesenian dan kesusateraan. Dalam perjalanan sejarah, pengaruh politik kompeni Belanda terhadap keraton jawa telah dimulai sejak kompeni Belanda memberi bantuan kepada keraton Mataram untuk menumpas pemberontakan Trunajaya sekitar tahun 1677-1680. Setelah Mataram berhasil memadamkan pemberontakan Trunajaya atas jasa kompeni, pihak Mataram memberikan fasilitas kemudahan kepada Belanda, antara lain, adalah diijinkan membangun benteng pertahanan di sekitar keraton. Akan tetapi, Mataram tidak menyadari bahwa sebenarnya Belanda adalah musuh dalam selimut. Bahkan urusan rumah tangga politik keraton, sampai pada persoalan pergantian tahta seperti patih dan bupati, Belanda tidak terlepas dari campur tangannya. Pengaruh kompeni Belanda terhadap keraton jawa semakin besar dan memuncak sejak disetujuinya perjanjian Gianti tahun 1755 yang membagi keraton Matram menjadi dua yaitu, Yogyakarta dan Surakarta. Disamping menurunnya kekuasaan politik keraton akibat campur tangan pemerintah kolonial yang menyebabkan situasi keraton bertambah parah, situasi keraton bertambah kacau lagi akibat pengurangan wilayah-wilayah keraton oleh pemerintah kolonial. Akibat pengurangan wilayah itu sumber penghasilan keraton semakin sedikit, kemakmuran raja berkurang, dan rakyat semakin menderita. Selang beberapa tahun kemudian pada masa koloni Inggris, pada tahun 1813, sebagian wilayah negaragung Yogyakarta diberikan kepada Adipati Pakualam karena jasanya membantu pemerintahan Inggris. Padahal setahun sebelumnya, tahun 1812, keraton Yogyakarta dan Surakarta dipaksa untuk menyerahkan negaragung Kedu kepada Inggris dengan alasan membantu Sultan Hamengkubuwana III naik tahta dan juga karena alasan Inggris telah melindungi wibawa sunan di Surakarta. Pengaruh kekuasaan pemerintahan kolonial yang leluasa ini menyebabkan hubungan kaum bangsawan dengan orang-orang barat semakin terbuka. Sangatlah wajar jika penetrasi peradaban barat dengan mudah mengalir ke istana. Bahkan, karena ketergantungan keraton pada pemerintahan kolonial semakin tidak dihindari, maka pemerintahan kolonial pun dengan mudah menghentikan aktivitas raja dan para bangsawan dalam bidang politik dan ekonomi. Dengan demikian, karena tugas politik ekonomi raja dan bangsawan dikeraton sudah tidak ada lagi, maka tugas mereka dialihkan pada bidang kesenian dan kesusasteraan. Hal itulah yang disebut kesusateraan jawa mengalami perkembangan akibat mundurnya peran istana dalam bidang ekonomi dan politik. Melihat situasi masyarakat yang semakin krisis tersebut, akhirnya para pujangga keraton menggugah diri dan berusaha untuk menegakkan kembali nilai-nilai dan norma-norma tradisional yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Satu-satunya jalan yang ditempuh adalah dengan cara menulis dan mengubah sastra yang berisi ajaran, piwulang, dan sebagainya, yang dimaksudkan sebagi tindakan antisipasi terhadap gejala-gejala krisis tersebut. Tindakan itu dilandasi oleh pikiran bahwa konteks masyarakat yang demikian, karya sastra berisi petunjuk-petunjuk berfunsi sebagai salah satu jalan untuk mempersatukan kekuatan masyarakat dibawah naungan raja. Selain karya sastra diciptakan oleh pujangga dengan tujuan untuk menjaga harkat dan martabat raja dan bangsawan, juga untuk menegakkan kembali nilai-nilai dan norma-norma tradisional. Oleh karena itu, jelas bahwa karya sastra diciptakan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan ‘golongan atas’ dikeraton , melainkan juga untuk kalangan masyarakat luas. Yang berkenaan dengan tujuaan memenuhi kebutuhan golongan atas, biasanya karya sastra ditulis sesuai dengan cerminan pandangan hidup kaum bangsawan yang memberi prioritas pada bidang teologi dan etika. Namun jika diamati lebih jauh lagi, sebenarnya karya sastra yang menekankan bidang teologi dan etika itu tidak hanya dikonsumsi golongan atas saja tetapi juga untuk konsumsi seluruh masyarakat pada umumnya. b. Karya-karya sastra gemilangpada Zaman keemasan Atas dasar beberapa pernyataan diatas akhirnya muncullah zaman ini karya-karya Mangkunegara IV, seperti Wedatama, Tripama, Wira Wiyata, atau karya Pakubuwana IV, Wulangreh. Karya-karya tersebut lebih banyak menekankan bidang etika secara umum. Dalam Wedatama, selain mengajarkan tentang etika dan etiket, juga terdapat ilmu tentang ilmu kesempurnaan dan ilmu pengetahuan. Ajaran ilmu kesempurnaan itu misalnya tercantum dalam bagian-bagian yang mengajarkan tata cara sembah raga, sembah jiwa, sembah cipta dan sembah rasa. Yang semua itu identik dengan Syari’at, Tarekat, Hakekat dan Ma’rifat. Akan tetapi, Selain terdapat ajaran itu, justru dipentingkan adalah ajaran etika dan etiket, misalnya tata cara bagaimana seseorang harus berjiwa bersih, pemaaf, rela dan pasrah, juga harus bersifat sopan dan pandai menyesuaikan diri. Dalam Tripama, Mangkunegara IV lebih menekankan ajarannya bagi prajurit daripada kaum sipil pada umumnya. Dalam serat Tripama diberi lambang tiga tokoh wayang teladan yaitu, Bambang Sumantri atau Patih Suwanda, Bambang Kumbakarna dan Adipati Basukarna atau Surya Putra. Oleh karena itu, cita-cita dalam Tripama sesuai dengan kepentingan keraton kejawen waktu itu. Dalam serat Wirawiyata, Mangkunegara IV menekankan bahwa seorang prajurit yang menepati janji sesuai dengan yang diucapkan ketika pelantikan, dan hal tersebut harus dipegang teguh dalam menjalankan tugasnya sebagai prajurit. Kemerosotan politik raja yang menyebabkan pula merosotannya masyarakat, sehingga Pakubuwana IV dalam Wulangreh menyatakan bahwa masyarakat tidak lagi berusaha mencari kebenaran. Yang terjadi zaman itu, menurut Pakubuwana IV, tradisi murid mencari guru sudah beralih menjadi kiai bersusah payah mencari murid. Karya-karya lainnya yang juga dimaksudkan menjadi pedoman untuk mengantisipasi adanya krisis masyarakat pada waktu itu adalah Nitisruti Lugu, gubahan Pakubuwana IX, Serat Dumba Sawala, Chandrarini karya Ranggawarsito atas perintah Pakubuwana IX, dan Serat Wulang Estri hasil gubahan Pakubuwana X. Dalam Nitisruti Lugu terdapat ajaran tentang kewaspadaan, yakni ajaran yang diambil dari konsep Asthabrata, dan ajaran tentang peperangan. Hampir senada dengan karya diatas, ajaran tentang keberanian seorang prajurit digambarkan dalam serat Dumba Sawala. Melalui simbol berbagai binatang, seorang prajurit diharapkan memiliki sikap pantang mundur. Tampaknya ajaran-ajaran yang dikemukakan dalam karya-karya sastra pada masa itu tidak hanya terbatas pada bidang etika ksatriaan yang harus dilakukan oleh seorang prajurit keraton,tetapi juga etika tentang kewanitaan. Hal ini dapat dijumpai pada Candrarini dan Wualng Estri. Konsep ajaran yang dapat dijumpai pada Candrarini adalah ajaran moral bagi kaum wanita dalam hidup berumah tangga. Melalui simbol wayang, seorang istri harus dapat bertindak seperti tingkah laku istri-istri Arjuna, yakni mengenai watak dan sifat-sifatnya. Dalam Wulang Estri, mengenai sosok seorang istri melalui simbol jari tangan. Lima jari tangan itu mempunyai makna yang pada pokoknya memberi ciri seorang istri atau wanita ideal. Disamping itu muncul beberapa pujangga yang berusaha melukiskan gejala krisis masyarakat lewat karya-karya yang diciptakannya, agaknya ada seorang lagi pujangga yang tergolong berani. Ia adalah Ranggawarsita, seorang pujangga Surakarta terkenal. Lewat karya-karyanya, antara lain, Kalatidha dan Jaka Lodhang, ia menyoroti langung keadaan masyarakat terutama lingkungan istana Surakarta yang dilanda gejolak kekacauan dan krisis. Lewat Kalatidha, Ranggawarsita menyatakan zaman itu disebut zaman edan, yakni zaman yang penuh dengan kekacauan dan kemunafikan. Ia sebagai wakil sensibilitas kaum bangsawan merasa sedih melihat campur tangan Belanda dalam pemberian gelar, terutama bagi mereka yang bekerja di kegubernuran. Dalam Jaka Lodhang di ungkapkan bahwa situasi keraton semakin bertambah kacau. Hal itu disebabkan karena saat itu manusia kehilangan kepribadiannya atau wong agung nis gungiro, wong kang tan toleh ing cilikira ( manusia sudah tidak tahu keutamaannya, manusia rendah sudah tidak menyadari kedudukannya sebagai manusia rendah ). Dari uraian mengenai latar belakang munculnya karya-karya sastra jawa baru, tampak bahwa isi karya sastra sebagian besar berkaitan dengan kehidupan masyarakat istana, terutama kehidupan raja dan wewenangnya. 5). Sastra jawa zaman Surakarta akhir. Akhir abad XIX, atau tepatnya pad tanggal 24 Desember 1873, R. Ng. Ranggawarsita, pujangga keraton Surakarta wafat. Sesudah itu itu raja Surakarta Sri Susuhunan Pakubuwana IX tidak lagi mewisuda pujangga penggantinya. Oleh sebab itu R. Ng. Ranggawarsita adalah pujangga penutup atau pujangga terakhir dari keraton Kasunanan Surakarta Adiningrat. Namun kematian sang pujangga agung ini tidak berarti sastra jawa itu mati atau berhenti. Kesusasteraan jawa terus hidup mengarungi zaman-zaman berikutnya. Namun semenjak itu kesusasteraan bergeser sumbernya. Yang semula bermata air didalam keraton, setelah sang pujangga wafat berangsur diluar istana. Isi sastra jawa tidak lagi membicarakan suasana keraton tetapi mendendangkan kehidupan masyarakat awam dengan segala problemanya. Para pengarang dan penciptanya mendendangkan peristiwa-peristiwa yang lumrah didapati dalam jalan hidup masyarakat awam dengan gaya bahasa awam pula yang mudah difahami oleh peminat dan pencintanya. Walau ada karya pujangga lahir, itu berkembang diluar istana Surakarta, tetapi masih dalam lingkungan keraton Mangkunegaran seperti Langendriya Mandraswara karya RMA. Tandha Kusuma. Setelah zaman Surakarta akhir tersebut, dilanjutkan oleh zaman Balai Pustaka, yaitu setelah pemerintahan Belanda pada permulaan abad XX, dibentuk Komisi Bacaan Rakyat atau Commissie Voor de Volksleetuur yang kemudian berubah menjadi Balai Pustaka sampai mendaratnya Jepang di pulau Jawa pada tahun 1942. Setelah itu sastra jawa yang berlaku adalah sastra jawa modern.